Bukan Sekadar Cerita Bawang Putih dan Bawang Merah
Masalah bawang putih sudah menjadi perhatian publik secara luas. Hari-hari terakhir ini kita bahkan sering menerima pesan elektronik terkait dengan bawang putih. Misalnya, pesan pendek `Bawang putih hilang karena diusir Bawang merah'. Begitu juga pesan tipuan yang dipelesetkan menjadi `Tolong kirim mama bawang putih', bukan lagi pulsa. Kita pasti tersenyum kecut membaca pesan-pesan tersebut. Miris karena Indonesia yang demikian luas dan subur harus menghadapi masalah tinggi dan ketidakstabilan harga-harga pangan.
Masalah hilang dan melambungnya harga Bawang Putih di pasaran sebenarnya bukan masalah baru karena sebelumnya kita juga menghadapi melambungnya harga daging sapi atau cabai. Masyarakat sering merasa kesal karena tidak ada solusi yang menyentuh akar masalahnya sehingga masalah tersebut terus berulang.
Apalagi hal itu masih ditambah dengan suguhan perang terbuka antarlembaga tentang masalah tersebut. Menteri Pertanian terkesan keberatan dan menyalahkan kebijakan impor yang dilakukan Kementerian Perdagangan. Pun demikian dengan Kementerian Perdagangan yang segera membuka keran impor karena menganggap sudah memilih kebijakan yang paling tepat untuk menjawab keluhan masyarakat akibat melambungnya harga bawang putih di pasaran.
Bagaimana semestinya kita melihat permasalahan bawang putih dan komoditas pangan lain yang masuk kategori penting bagi masyarakat?
Haruskah perdebatan hanya cukup seperti saat ini, yakni mendukung atau tidak mendukung impor? Tentu tidak. Untuk menilai keputusan kebijakan impor tepat atau tidak, tentu harus ada analisis atas akar masalah yang terjadi saat ini.
Peta Masalah
Menurut penulis, ada hal yang harus dijawab sebelum memutuskan langkah kebijakan untuk meredam kisruh bawang putih dan, sekali lagi, komoditas pangan lainnya.
Pertanyaan awal yang harus dijawab ialah apakah lonjakan harga dan hilangnya pasokan saat ini terjadi akibat kesenjangan permintaan dan penawaran? Dari sisi permintaan, sangat mungkin ada pertumbuhan permintaan bawang putih yang cukup besar secara persisten. Sebagaimana diketahui, sejak beberapa tahun terakhir, industri pengolahan pangan tumbuh relatif tinggi. Pada 2012, misalnya, data investasi portofolio sangat tinggi untuk sektor barang-barang konsumsi termasuk industri makanan dan restoran.
Data investasi langsung juga menunjukkan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang paling tinggi terjadi pada industri makanan dengan porsi 12%, hampir sama dengan investasi industri mineral dan logam.
Data produk domestik bruto (PDB) juga mengindikasikan pertumbuhan sektor manufaktur yang relatif tinggi, yakni 5,9% pada tahun lalu, terutama didorong pertumbuhan subsektor industri perdagangan, hotel dan restoran serta yang kedua ialah pertumbuhan subsektor industri makanan. Pertumbuhan industri pengolahan makanan, salah satunya, memang didorong pertumbuhan pengolahan crude palm oil (CPO). Namun, industri pengolahan makanan lainnya juga tumbuh cukup tinggi yang didorong kemunculan kelas menengah baru Indonesia yang sangat pesat.
Menurut Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, jumlah penduduk Indonesia yang masuk kategori kelas menengah meningkat dari 45 juta jiwa pada 1998 menjadi 134 juta jiwa pada 2010. Namun, itu masih didominasi `kelas menengah bawah', yakni penduduk dengan pengeluaran sebesar US$2-US$4 per kapita per hari (sedikit di atas kategori miskin yang sebesar < US$2 per kapita per hari).
Kemunculan kelas menengah baru yang masuk kategori kelas me nengah bawah akan ditandai dengan pertumbuhan tinggi pada produk-produk konsumsi terutama konsumsi makanan. Artinya, dari sisi permintaan, sangat mungkin terjadi pertumbuhan yang amat tinggi untuk komoditas bahan makanan seperti bawang putih. Meski demikian, peningkatan permintaan yang terjadi berkat pertumbuhan investasi dan konsumsi produk makanan tidak akan mendorong kenaikan harga bawang putih yang sangat tinggi dan secara tiba-tiba.
Sebagaimana diberitakan, harga bawang putih yang semula hanya berkisar Rp15 ribu per kilogram (kg) tiba-tiba melesat menjadi Rp50 ribu per kg bahkan mendekati Rp100 ribu per kg di beberapa kota. Lonjakan harga juga tidak akan sedrastis saat ini meskipun terjadi masalah di sisi pasokan seperti keterlambatan dikeluarkannya izin impor bawang putih.
Langkah Solusi
Dengan paparan tersebut, sangat mungkin ada masalah yang cukup serius dari sisi tata niaga dan sisi akurasi data bawang putih sehingga terjadi lonjakan harga. Kekhawatiran masyarakat bahwa terjadi permainan harga di pasar karena permainan pasokan memang sangat beralasan. Bila kebutuhan bawang putih dalam negeri saat ini sebesar 95% benar dikuasai produk impor, yang dikuasai beberapa pemain, posisi tawar pengusaha menjadi sangat kuat. Kebijakan yang diambil pemerintah sangat mungkin tidak akan efektif bahkan dimentahkan karena kemampuan importir sangat besar untuk menolak pemberlakuan kebijakan baru yang akan mengurangi keuntungan mereka.
Apalagi bila, pertama, koordinasi antarkementerian sangat lemah sehingga para penguasa pasar dapat dengan mudah membelokkan kebijakan. Kedua, kondisi akan semakin buruk bila dibarengi dengan permainan birokrasi yang tidak transparan karena kepentingan finansial dan ekonomi pribadi dan kelompok. Kebijakan larangan impor hortikultura dari Kementerian Pertanian untuk mengurangi ketergantungan impor hortikultura agar memberi pasar bagi produk dalam negeri, misalnya, tidak mengherankan menjadi back fire bagi pemerintah karena tidak ada rencana kebijakan yang jelas, terintegrasi, dan saling dukung antara Kementerian Pertanian dan kementerian lain seperti Kemendag, Kemenkeu, serta lembaga Bulog dan BPPT.
Pemerintah harus mencari solusi atas kenaikan dan instabilitas beberapa komoditas pangan penting secara komprehensif dan berkelanjutan. Langkah jangka pendek dan jangka panjang dibuat dan keduanya harus berkaitan. Pemerintah juga harus segera memiliki database yang update dan terintegrasi tentang data produksi dan konsumsi bawang putih sehingga tidak ada perselisihan data antarkementerian. Bahkan tidak hanya data saat ini, tetapi juga tren permintaan dan pasokan dalam negeri beberapa tahun ke depan.
Untuk solusi jangka pendek, apabila data menunjukkan saat ini produksi bawang putih tidak mencukupi kebutuhan nasional, kebijakan impor menjadi solusi yang tidak dapat terhindarkan. Namun, keputusan impor harus jelas tidak hanya dari sisi volume, tetapi juga waktu. Pada saat memutuskan membuka keran impor, itu harus sudah diikuti dengan rencana kebijakan peningkatan produksi dalam negeri yang komprehensif.
Karena masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian masih sangat besar, bahkan banyak sentra bawang putih, peningkatan produk pertanian harus menjadi salah satu solusi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan investasi, tetapi juga solusi untuk memberikan lapangan pekerjaan dengan penghidupan yang layak. Tentu dukungan kebijakan dan program, tidak hanya subsidi, sangat penting.
Bahwa hal itu bukan pekerjaan mudah memang benar. Terlalu banyak pihak akan menentang tidak hanya untuk kepentingan para importir yang saat ini sangat diuntungkan, tetapi juga tekanan dari negara-negara maju yang ingin menjadikan Indonesia sebagai pasar. Salah satu buktinya, Organization for Eco nomic Cooperation and Development (OECD) menyarankan Indonesia melepas target swasembada pangan dan cukup fokus ke peningkatan investasi pada komoditas yang lebih bernilai tinggi dan dapat bersaing di pasar global seperti CPO dan karet.
OECD berpendapat komoditas pangan Indonesia dinilai tidak memiliki daya saing kompetitif dan komparatif sehingga membutuhkan biaya besar jika dipaksakan untuk swasembada. Oleh karena itu, OECD menyarankan Indonesia sebaiknya melupakan mimpi memproduksi komoditas pangan. Hapus subsidi pangan dan cukup membangun infrastruktur seperti pelabuhan dan jalan bebas hambatan sehingga komoditas pangan (impor) sampai ke tangan konsumen dengan lebih murah.
Masih banyak pembenar akan diberikan berbagai pihak agar Indonesia tetap menjaga liberalisasi pasar pangan. Bola ada di tangan pemerintah. Solusi kisruh lonjakan harga bawang putih dan komoditas pangan lainnya memang bisa diselesaikan dengan sekadar mengguyur dengan barang impor. Namun, kebijakan sektoral dan ad hoc seperti saat ini seharusnya segera ditinggalkan.
Penyelesaian masalah bawang putih dengan kebijakan komprehensif dan terintegrasi tidak hanya akan menyelesaikan masalah stabilitas harga jangka pendek, tetapi juga masalah-masalah struktural lainnya seperti penciptaan lapangan kerja, struktur industri pengolahan makanan yang kukuh, juga masalah stabilitas sosial politik.
Sumber : http://promojepara.blogspot.com/2013/03/bukan-sekedar-cerita-bawang-merah-dan.html
Sumber : http://promojepara.blogspot.com/2013/03/bukan-sekedar-cerita-bawang-merah-dan.html