Sulistina tersipu-sipu sendiri. Nenek 90 tahun yang masih menyisakan guratan kecantikannya di masa muda itu terkenang sang suami, Bung Tomo. Pahlawan yang menjadi bintang dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945 itu, sangat romantis dan mencintainya habis.
Bung Tomo dan Sulistina bertemu ketika zaman sedang bergolak. Keduanya sama-sama berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bung Tomo berjuang lewat pidato-pidatonya di radio untuk membakar semangat arek-arek Surabaya melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia melalui tentara NICA.
Sulistina bergabung dalam Palang Merah Indonesia (PMI) yang bertugas menolong para pejuang yang terluka karena perang. Suatu ketika keduanya bertemu dalam sebuah rapat.
Bung Tomo sebagai sosok yang terkenal memiliki banyak pengagum perempuan. Para gadis saling berebut perhatian agar bisa dekat dengan pria yang selalu berpenampilan rapi jali ini. Namun Sulistina sangat berbeda dengan para gadis itu. Gadis cantik itu cuek saja ketika Bung Tomo datang. Ia tidak sadar Sang Jenderal Kancil, demikian julukan Bung Tomo, jatuh cinta pada pandangan pertama kepada dirinya. Begitu bertemu Sulistina, Bung Tomo tidak bisa lagi berpaling.
"Saya sering diledekin teman-teman. Lis (panggilan Sulistina), lihat tatapan Bung Tomo. Dia selalu melihat ke arahmu," cerita Sulistina saat ditemui detikcom.
"Tapi saya waktu itu masih tidak percaya, sampai kemudian Bung Tomo benar-benar menyatakan cintanya kepada saya."
Bung Tomo dan Sulistina menikah pada 19 Juni 1947. Mereka dikaruniai lima anak. Menjadi teman hidupnya, Sulistina mengetahui Bung Tomo yang terkenal dengan pekikan Allahu Akbar dalam pidatonya yang menggelora itu sangat religius. Ia selalu berusaha menjalankan perintah agama sebaik mungkin.Setiap hari ia mengajari anak-anaknya untuk disiplin menjalankan salat, puasa, dan tidak boleh bohong seperti yang diperintahkan agama.
Dalam mendidik anak-anaknya, Bung Tomo sangat keras. Ada prinsip hidup yang harus dipegang oleh anak-anaknya, yakni kejujuran. Anak-anaknya tidak boleh bohong. Jika sekali saja kedapatan bohong, jangan tanya hukumannya, sangat keras. Salah satu hukuman Bung Tomo kepada anak-anaknya jika ketahuan berbohong adalah berpidato di jalan.
"Disuruh pidato saya berdiri di sini, dihukum Bapak karena sudah berbohong, bla-bla-bla…." Kata Sulistina. Bambang Sulistomo, anak kedua Bung Tomo pernah mengalaminya.
Meski keras terhadap anak-anak, Bung Tomo tidak pernah sekalipun galak terhadap istri. Setelah menikah, perlakuan Bung Tomo pada Sulistina pun tetap sama seperti ketika masa pacaran. Sang pahlawan kerap menatapnya dalam-dalam. Ia juga punya banyak panggilan sayang untuk Sulistina.
Dalam setiap surat, Bung Tomo selalu memanggil Sulistina dengan panggilan Tiengke. Kadang dikombinasikan dengan "Tieng adikku sayang", "Tieng bojoku sing denok debleng", dan "Tieng istri pujaanku".
"Semasa hidup, saking cintanya pada istri, setiap mendengar musik di televisi, Bung Tomo selalu mengajak saya berdansa," tutur Sulistina.
Bung Tomo juga selalu membukakan pintu mobil untuk Sulistina . Ia pun selalu mengajak Sulistina kemana pun ia pergi. Pernah Bung Tomo diundang menghadiri sidang veteran di Nairobi, Kenya. Tapi ia menolak berangkat karena Sulistina tidak bisa ikut menyertai lantaran alasan biaya.
Akhirnya undangan yang diperuntukkan bagi satu orang itu diberikan kepada kawannya. Kepada kawannya itu, Bung Tomo meminta supaya pesan dan catatannya disampaikan dalam sidang.
Kecintaan yang mendalam kepada istrinya juga ditunjukkan Bung Tomo, yang di mana-mana selalu menyampaikan tentang sosok perempuan dengan ungkapan "put your wife on a pedestal". Kalau diartikan "manjakanlah istrimu". Bung Tomo juga tidak setuju dengan poligami.
"Kalau soal hubungan dengan perempuan, Bung Tomo sudah jelas sikapnya, tidak suka melihat laki-laki menduakan istri," kata Sulistina. "Bung Tomo sangat menghargai perasaan perempuan, mencintai istri dan keluarganya."
Sama seperti Bung Tomo, Sulistina juga menolak keras poligami. Ia bahkan melarang Bung Tomo menghadiri rapat dengan Presiden Sukarno bila di dalam rapat itu ada Hartini, istri keempat Sukarno. Gara-gara Hartini, Ibu Negara Fatmawati memilih meninggalkan Istana Negara karena tidak mau dimadu oleh Sukarno.
Sulistina sangat terharu atas semua cinta dan perhatian Bung Tomo. "Yang membuat saya terharu dan menangis adalah ketika membuka dompet Bung Tomo setelah kepergiannya untuk selama-lamanya. Di dompet itu Bung Tomo masih menaruh foto saya," cerita Sulistina. Di bawah foto Sulistina yang tersenyum itu, ada tulisan "iki bojoku" (ini istriku). Pada foto lain tertulis "Tien istri Tomo".
Bung Tomo meninggal saat melaksanakan ibadah haji pada 7 Oktober 1981. Jenazahnya dibawa pulang ke tanah air dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya, Jawa Timur. Ia mendapat gelar pahlawan nasional bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.